Sabtu, 05 September 2009

Pengemis dan Fatwa MUI

Mengemis, bagi sebagian orang adalah hal keterpaksaan. Kegiatan tersebut adalah bukan pilihan hidup, karena setiap orang menginginkan dan memimpikan memiliki pendapatan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, namun nasib terkadang menentukan kondisi yang berbeda dengan apa yang dicita-citakan dan akhirnya mereka memilih jalan tersebut.

Di kota-kota besar, pengemis dan geladangan (gepeng) sering dianggap sebagai penyakit sosial, karena keberadaan dari tahun ke tahun terus bertambah. Kondisi tersebut masih diperparah adanya pengemis yang terorganisir. Pada bulan puasa seperti sekarang ini, banyak para pengemis musiman, mereka sengaja didatangkan ke kota untuk mengemis, hal ini sudah menjadi rahasia umum, jadi tidaklah mengherankan apabila bulan puasa atau momentum lain mendadak banyak pengemis dilingkungan kita berlalu lalang.

Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep, Madura, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa haram, bagi para pengemis, karena tindakan yang dilakukan adalah menghinakan diri sendiri. Fatwa haram tersebut juga didukung oleh MUI Pusat. Yang menjadi pernyataan kita adalah apakah setelah keluar fatwa haram, pengemis akan berkurang?, atau tetap masih tetap ada?.

Hal inilah yang perlu dijadikan renungan untuk kita semua. Karena dengan sengaja atau tidak kalau kita menciptakan kecemburuan sosial, secara otomatis merangsang seseorang orang untuk melakukan tindakan yang hina seperti mengemis. Untuk itu, tingkat kepedulian yang tinggi bagi si miskin adalah merupakan cara terbaik untuk meminimalkan tindakan dan karakter mengemis.

Hendriwan Angkasa
Tanah Sereal, Tambora, Jak-Bar
(mbs)

Template by : kendhin x-template.blogspot.com